Penayangan bulan lalu

Rabu, 21 Desember 2011

yang sebenar cinta

Matahari memancar terang di cakrawala timur seperti bola raksasa yang terlontar dari balik bukit. Pasar kota Madinah pagi itu begitu ramai. Orang berlalu lalang, datang dan pergi dengan unta ataupun keledai. Juga sekedar berjalan kaki. Riuh rinai para pedagang yang beradu suara menawarkan barang dagangannya seperti sekumpulan lebah yang tengah membangun saranngya.



Pada sebuah sudut, seorang pengemis sedang duduk. Tulang belulang lelaki Yahudi itu telah renta. Badannya lusuh, kusut masai. Sebuah tongkat kayu ada di tangannya, tergenggam erat, seperti sesuatu yang tak hendak dilepaskannya barang sesaat. Sesekali tangannya yang lain menggapai-gapai sesuatu di sekelilingnya. Ia buta, hingga menggantungkan hidupnya di sudut pasar itu pada orang yang mau memberinya sesuap makan untuk mengarungi sisa hidupnya.

Namun seperti tak pernah berhenti , dari mulutnya keluar serangkaian perkataan, setengah berteriak, kepada orang yang lewat di dekatnya. Bukan menawarkan barang dagangan atau semacamnya. Bukan pula rintihan mengiba mengharap belas-kasihan. Tapi, rentetan pesan berisi caci maki.

“Wahai saudaraku. Janganlah dekati Muhammad! Jangan dekati Muhammad!” teriaknya seperti tukang syair kesetanan. “Dia itu orang gila! Pembohong! Tukang sihir! Apabila kalian mendekatinya, kalian pasti akan terkena pengaruhnya!”

Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya datang ke tempat itu dengan makanan di tangan. Didekatinya lelaki buta itu. Perlahan, seperti tak ingin mengusiknya. Dan tanpa sepatah kata terucap, ia kemudian menyuapi makanan dengan tangannya sendiri. Lembut, santun, telaten. Hingga suap terakhir.

Lelaki buta itu tampak merasa nyaman mendapatkan suapan makanan hari ini. Dari seorang lelaki paruh baya yang dengan lembut menyuapinya.
Ia pun menyampaikan terima kasih dan juga sebuah pesan, sebagaimana disampaikan pada setiap orang.
“jangan dekati Muhammad, kisanak!” katanya berapi. Keroncongan perutnya sudah lenyap. “Dia itu orang gila! Pembohong! Tukang sihir! Apabila kamu mendekatinya, kamu pasti akan terkena pengaruhnya!”

Lelaki paruh baya itu pun diam menyimak. Kemudian Ia pamit.
Keesokan harinya, Ia membawa makanan seperti kemarin. Ia juga menyuapi lelaki pengemis buta itu dengan kelembutan yang sama seperti sebelumnya. Dengan tangan sendiri.
Ia pun kembali mendapatkan pesan yang sama dari si pengemis buta itu sebelum pamit pergi. Demikian hal itu berlangsung berbilang hari hingga pada suatu hari, lelaki paruh baya yang lembut itu tak pernah datang lagi.
Dan suapan lembut itu berakhir sudah.
***


Suatu hari, Abu Bakar r.a. datang kepada ‘Aisyah r.a. ia bertanya, “wahai anakku, adakah sunnah kekasihku Muhannad yang belum aku kerjakan?”

Aisyah mengerenyitkan dahi sesaat, seperti mengingat sesuatu. “wahai Ayahku, Engkau adalah ahli sunnah Rasulullah” kata ummul mu’minin itu lembut.

 “hampir tidak ada sunnah Rasulullah yang belum engkau kerjakan kecuali satu hal saja”

“sunnah apakah itu, anaku?” tanya Abu Bakar dengan penuh penasaran.

“setiap pagi, Rasulullah SAW selalu berkunjung ke sudut pasar kota madinah” terang Aisyah mengingat kembali kebiasaan suami tercintanya itu sebelum hari wafatnya.
“beliau membawakan makanan untuk menyuapi seorang pengemis yahudi buta yang ada di sana”

Tanpa menunggu waktu, pagi keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke sudut pasar kota Madinah. Ia membawa makanan di tangan. Didapatinya seorang pengemis Yahudi disana. Tulangnya telah renta dengan badan yang lusuh dan kusut masai. Tanpa berkata sepatah kata pun. Ia mulai menyuapinya dengan makanan.

Tiba-tiba, lelaki pengemis buta itu pun berteriak marah. “siapa kamu?” tanyanya ketus.

“aku orang yang biasa menyuapimu” jawab Abu Bakar

“bukan! Bukan!” sergah sang pengemis dengan tongkat tergenggam erat ditangannya.atanya seperti memicing. “engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!”

Abu Bakar termangu. “bagaimana mungkin engkau tahu wahai kisanak?”

“apibila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tangan ini mengunyah, orang yang biasa mendatangiku selalu menyuapiku dengan lembut, bahkan ia melumatkan makan itu dengan mulutnya sebelum diberikan kepadaku.”

Abu Bakar seketika tak kuasa menahan bulir air di matanya jatuh satu demi satu, Ia pun sesenggukan di hadapan pengemis itu. “wahai, kisanah! Aku memang bukanlah orang yang biasa datang kepadamu, aku hanyalah seorang sahabatnya.”

“o, ya? Dimana dia sekarang?” tanya sang pengemis

“dimana dia?” tanya pengemis tua itu sekali lagi, meradang.

“orang yang mulia itu kini telah tiada” Jawab Abu Bakar dengan suara bergetar  dan air mata dikelopak matanya.

Sejenak keduanya diam membisu, tenggelam dalam memori dan pikiran masing-masing.

“siapakah dia? Siapa dia sebenarnya wahai kisanah?”

“dialah Muhammad! Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.”

“dia Muhammad? Orang itu? Benarkah demikian” pengemis itu terperanjak.
Abu Bakar mengiyakan.

Linang air mata membasahi pelupuk pengemis. Ia sesenggukan, meratap teramat sangat. Menyesali apa yang sudah terjadi pada dirinya.

“wahai kisanah, selama ini aku telah menghinanya, menfitnahnya!” katanya diantara tangis. “ dan ia tidak pernah marah kepadaku sedikit pun. Ia justru mendatangiku setiap hari, dengan membawa makanan di tangannya, ia bahkan menyuapiku dengan tangannya yang lembut. Betapa mulia dirinya”

Lelaki tua itupun lalu bersyahadat di depan Abu Bakar.

[ Jejak Jejak Surga Sang Nabi – Bahtiar HS]

Itulah sepenggal kisah implementasi dari salah satu akhlak mulia nya, yang dipraktekan Baginda Rasul disudut pasar Madinah, untuk kita teladani.

Kebencian seorang pengemis buta kepada Rasulullah tidak menghalangi langkahnya untuk datang berbagi dengannya. Bahkan tanpa perlu menyebutkan jati dirinya, laksana tangan kiri yang tak tahu menahu ketika tangan kanannya mengulur memberi.

Penyebutan jati diri hanya akan memberi warna cinta dengan setitik noktah pamrih, sehingga tak lagi putih bersih.
Tidaklah semua itu terjadi kecuali berangkat dari rasa cinta dan kasih sayang  Baginda Nabi yang tak terkira. Tidak hanya untuk sesama muslim tetapi untuk semesta alam.

Sebuah teladan yang tak mudah diteladani memang, bahkan oleh Abu Bakar,sahabatnya sekalipun.

Tapi semua itu tak menutup kemungkinan untuk kita jadikan motivasi bagi diri kita, untuk selalu berusaha meneladani akhlak mulia pada dirinya yang berhati mulia.

Semoga bermanfaat bagi kita semua.
dan bisa membuat kita semakin mencintai Rasululloh junjungan kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar